Swarloka di Gunung Penanggungan
Ilustrasi gambar via khatulistiwa.info |
Gunung Penanggungan (1.659 m.dpl) merupakan salah satu gunung yang terdapat di Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Mojokerto. Dahulunya dikenal dengan nama Gunung Pawitra yang berarti kabut karena puncaknya yang runcing selalu tertutup kabut. Gunung dengan ketinggian 1.659 mdpl itu ternyata menyimpan banyak peninggalan-peninggalan kuno dari masa kerajaan Majapahit.
Setidaknya ada 81 bangunan candi yang pernah berdiri di kawasan lereng Penanggungan. Dari angka tahun yang ditemukan di beberapa bangunan candinya, diketahui bahwa bangunan-bangunan tersebut didirikan antara abad X Masehi (Pemandian Jalatundo, 977 M) sampai dengan abad XVI Masehi.
Setidaknya ada 81 bangunan candi yang pernah berdiri di kawasan lereng Penanggungan. Dari angka tahun yang ditemukan di beberapa bangunan candinya, diketahui bahwa bangunan-bangunan tersebut didirikan antara abad X Masehi (Pemandian Jalatundo, 977 M) sampai dengan abad XVI Masehi.
Mahameru, Titik Pusat Alam Semesta
Sejak jaman agama Hindu dan Budha berkembang di Jawa, masyarakat sudah menganggap keramat gunung tersebut karena bentuk gunung Penanggunganyang lain daripada gunung-gunung lainnya. Dalam ajaran agama Hindu dan Budha dikenal adanya konsepsi makrokosmos (susunan alam semesta) bahwa alam semesta berbentuk lingkaran pipih seperti piringan dengan gunung Mahameru sebagai pusatnya. Mahameru yang dimaksud adalah gunung dalam konsepsi ajaran Hindu, yang dianggap sebagai titik pusat alam semesta.
Pada mulanya Mahameru terletak di benua Jambudwipa (India). Benua tersebut merupakan tempat hidup manusia, hewan dan tumbuhan, sedangkan di lerengnya terdapat hutan lebat tempat tinggal berbagai binatang yang mempunyai mitos dan para pertapa.
Saat itu, Mahameru sebagai pusat alam semesta merupakan tempat persemayaman para dewa. Persemayaman itu terletak di Kota Dewa Sudarsana dengan Dewa Indra sebagai rajanya. Di sekitar Sudarsana terdapat delapan sudut mata angin yang dijaga delapan dewa penjaga yang dinamakan Asta Dikpalaka atau Asta Lokapala. Di puncaknya terdapat empat puncak gunung yang lebih rendah di sekitarnya dan empat puncak lainnya di daerah yang agak jauh daripuncak Mahameru.
Benua Jambudwipa dikelilingi oleh tujuh lautan dan rangkaian pegunungan. Di tepi samudera terluar terdapat dinding pegunungan yang tidak dapat didaki manusia yang disebut Chakrawala atau Chakravan. Matahari, bulan dan bintang beredar mengelilingi puncak Mahameru yang menjulang tinggi. Dan konon di langit di atas puncak Mahameru terdapat tujuh lapisan surga.
Sebelumnya, Jambudwipa damai dan tenang, tetapi tiba-tiba tanahnya berguncang dan terombang ambing diterpa gelombang samudera. Akhirnya para dewa berusaha untuk memindahkan gunung Mahameru sebagai pusat alam semesta dari Jambudwipa ke pulau Jawa yang masih aman sebagai tempat kehidupan manusia yang baru.
Konsep makrokosmos ini diyakini masyarakat Jawa Kuno pada periode Hindu Buddha pada abad VII-XV Masehi dan diejawantahkan pada berbagai wujud bangunan suci, penataan istana, susunan administrasi pemerintahan dan lain-lain. Konsep dasar bangunan candi yang ada di Pulau Jawapun secara umum menyesuaikan dengan konsep makrokosmos tersebut. gunung Penanggungandalam kepercayaan masyarakat Jawa adalah salah satu perwujudan konsepsi makrokosmos tersebut karena gunung tersebut diyakini sebagai salah satu puncak Mahameru yang dipindahkan oleh dewa penguasa alam.
Pada mulanya Mahameru terletak di benua Jambudwipa (India). Benua tersebut merupakan tempat hidup manusia, hewan dan tumbuhan, sedangkan di lerengnya terdapat hutan lebat tempat tinggal berbagai binatang yang mempunyai mitos dan para pertapa.
Saat itu, Mahameru sebagai pusat alam semesta merupakan tempat persemayaman para dewa. Persemayaman itu terletak di Kota Dewa Sudarsana dengan Dewa Indra sebagai rajanya. Di sekitar Sudarsana terdapat delapan sudut mata angin yang dijaga delapan dewa penjaga yang dinamakan Asta Dikpalaka atau Asta Lokapala. Di puncaknya terdapat empat puncak gunung yang lebih rendah di sekitarnya dan empat puncak lainnya di daerah yang agak jauh daripuncak Mahameru.
Benua Jambudwipa dikelilingi oleh tujuh lautan dan rangkaian pegunungan. Di tepi samudera terluar terdapat dinding pegunungan yang tidak dapat didaki manusia yang disebut Chakrawala atau Chakravan. Matahari, bulan dan bintang beredar mengelilingi puncak Mahameru yang menjulang tinggi. Dan konon di langit di atas puncak Mahameru terdapat tujuh lapisan surga.
Sebelumnya, Jambudwipa damai dan tenang, tetapi tiba-tiba tanahnya berguncang dan terombang ambing diterpa gelombang samudera. Akhirnya para dewa berusaha untuk memindahkan gunung Mahameru sebagai pusat alam semesta dari Jambudwipa ke pulau Jawa yang masih aman sebagai tempat kehidupan manusia yang baru.
Konsep makrokosmos ini diyakini masyarakat Jawa Kuno pada periode Hindu Buddha pada abad VII-XV Masehi dan diejawantahkan pada berbagai wujud bangunan suci, penataan istana, susunan administrasi pemerintahan dan lain-lain. Konsep dasar bangunan candi yang ada di Pulau Jawapun secara umum menyesuaikan dengan konsep makrokosmos tersebut. gunung Penanggungandalam kepercayaan masyarakat Jawa adalah salah satu perwujudan konsepsi makrokosmos tersebut karena gunung tersebut diyakini sebagai salah satu puncak Mahameru yang dipindahkan oleh dewa penguasa alam.
Makna Penanggungan dalam konsepsi masyarakat Jawa Kuno
Kebakaran hutan yang cukup hebat di lereng gunung Penanggungan sisi barat pada sekitar tahun 1920-an merupakan awal penemuan peninggalan-peninggalan kuno dari masa kejayaan Majapahit. Akibat kebakaran tersebut puluhan situs arkeologi dan ribuan artefak lainnya yang tersebar di lembah dan lereng sisi barat dan utara Penanggungan bisa terungkap. Pada tahun 1925 WF Stutterheim, arkeolog pertama yang mengadakan eksplorasi di gunung Penanggungan berhasil menjelaskan makna Penanggungan dalam masyarakat Jawa Kuno.
Menurut WF Stutterheim, masyarakat Jawa mengangggap gunung Penanggungan sebagai puncak Mahameru karena banyaknya bangunan suci keagamaan yang terdapat di sana. Bangunan suci itu berupa punden berundak, altar persajian dan goa pertapaan yang berfungsi sebagai pelataran tempat dijalankannya ritual-ritual keagamaan.
Penjelasan WF Stutterheim itu juga berdasar pada kitab Tantu Panggelaran. Dalam kitab Tantu Panggelaran disebutkan bahwa Bhatara Guru menugaskaan Brahma dan Wisnu untuk mengisi pulau Jawa dengan manusia. Karena pulau itu selalu di landa goncangan, maka para dewa memindahkan gunung Mahamerudari India ke Jawa. Dalam perjalanan pemindahan gunung tersebut bagian Mahameru berguguran menjadi gunung-gunung yang berjajar sepanjang pulau Jawa antara lain Gunung Katong atau Lawu, Wilis, Kampud atau Kelud, Kawi,Arjuna (Arjuno) dan gunung Kemukus (Welirang). Tubuh Mahameru diletakkan agak miring dan menyandar pada gunung Brahma (Bromo) dan menjadi gunung Semeru. Puncak Mahameru sendiri adalah gunung Penanggungan atau Pawitra.
VR Van Romondt adalah juga arkeolog dan insinyur yang pernah melakukan penelitian di situs Penanggungan pada tahun 1936, 1937, dan 1940. Menurutnya bangunan punden berundak dan benda purbakala lainnya itu berfungsi sebagai tempat pemujaan nenek moyang pada akhir zaman Hindu. Pada tahun 1951 HG Quaritc Wales menyatakan bahwa memudarnya pengaruh kebudayaan Hindu Budha menyebabkan kebudayaan megalitik asli yang ritusnya adalah pemujaan arwah nenek moyang di puncak-puncak gunung tumbuh kembali. Hal itu ditandai dengan pembuatan bangunan pemujaan di lereng Gunung Penanggungan dan Candi Sukuh serta Candi Ceta di lereng Gunung Lawu.
Pawitra sebagai gunung suci tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan sudah berkembang sejak abad ke 10-11 M pada masa kerajaan Mataram Kuno. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Pu Sendok pada tanggal 18 September 929 M. Prasasti tersebut berisi tentang dijadikannya Desa Cunggrang sebagai daerah yang bebas pajak (sima) dan penghasilan desa itu akan digunakan untuk pemeliharaan bangunan suci Sanghyang Dharmasasra ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung.
Kemudian aktivitas keagamaan di sana mulai marak pada abad 15 M, masa kejayaan Majapahit hingga kemunduran pengaruh agama Hindu dan Budha di Jawa. Dalam babad Sangkala, bala tentara Demak pada tahun 1525-1527 berhasil merebut kota Majapahit dan Pawitra diduduki pada tahun 1543. Dengan pendudukan itu, berbagai macam kegiatan keagamaan yang telah berlangsung selama kurun waktu 500 tahun di Penanggungan akhirnya berakhir.
Gunung Penanggungan sebagai pusat aktivitas keagamaanDitemukannya 81 kepurbakalaan di Gunung Penanggungan semakin memperkuat anggapan masyarakat Jawa bahwa Gunung Penanggungan adalah gunung yang suci, tempat bersemayamnya para dewa. Tidak kurang dari 50 punden berundak dengan tiga altar sesajian di terasnya yang tersebar di lembah dan lereng Penanggungan. Relief-relief yang dipahat pada dinding-dindingnya, menggambarkan cerita Sudhamala (kisah ruwat Dewi Durga), Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna dengan bidadari), adegan kisah Ramayana dan Mahabarata, cerita Panji (kisah roman antara putra mahkota Janggala dan putri Kediri) yang merupakan cerita lokal) dan banyak relief yang menggambarkan flora dan fauna.
Benda-benda kepurbakalaan lain yang terdapat di Penanggungan adalah gentong-gentong batu yang diyakini sebagai tempat air untuk upacara keagamaan, gua-gua pertapaan, undak-undakan anak tangga batu untuk mendaki bukit, altar persajian tunggal, batu-batu yang dihiasi relief, dan pecahan gerabah dengan berbagai bentuk. Berdasarkan tafsiran dari berbagai bentuk peninggalan-peninggalan kuno tersebut dengan didukung uraian kitab kuno Negarakertagama, Arjunawiwaha, dan Tantu Panggelaran dapat diketahui bahwa dahulunya Gunung Pawitra merupakan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan.
VR Van Romondt adalah juga arkeolog dan insinyur yang pernah melakukan penelitian di situs Penanggungan pada tahun 1936, 1937, dan 1940. Menurutnya bangunan punden berundak dan benda purbakala lainnya itu berfungsi sebagai tempat pemujaan nenek moyang pada akhir zaman Hindu. Pada tahun 1951 HG Quaritc Wales menyatakan bahwa memudarnya pengaruh kebudayaan Hindu Budha menyebabkan kebudayaan megalitik asli yang ritusnya adalah pemujaan arwah nenek moyang di puncak-puncak gunung tumbuh kembali. Hal itu ditandai dengan pembuatan bangunan pemujaan di lereng Gunung Penanggungan dan Candi Sukuh serta Candi Ceta di lereng Gunung Lawu.
Pawitra sebagai gunung suci tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan sudah berkembang sejak abad ke 10-11 M pada masa kerajaan Mataram Kuno. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Pu Sendok pada tanggal 18 September 929 M. Prasasti tersebut berisi tentang dijadikannya Desa Cunggrang sebagai daerah yang bebas pajak (sima) dan penghasilan desa itu akan digunakan untuk pemeliharaan bangunan suci Sanghyang Dharmasasra ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung.
Kemudian aktivitas keagamaan di sana mulai marak pada abad 15 M, masa kejayaan Majapahit hingga kemunduran pengaruh agama Hindu dan Budha di Jawa. Dalam babad Sangkala, bala tentara Demak pada tahun 1525-1527 berhasil merebut kota Majapahit dan Pawitra diduduki pada tahun 1543. Dengan pendudukan itu, berbagai macam kegiatan keagamaan yang telah berlangsung selama kurun waktu 500 tahun di Penanggungan akhirnya berakhir.
Gunung Penanggungan sebagai pusat aktivitas keagamaanDitemukannya 81 kepurbakalaan di Gunung Penanggungan semakin memperkuat anggapan masyarakat Jawa bahwa Gunung Penanggungan adalah gunung yang suci, tempat bersemayamnya para dewa. Tidak kurang dari 50 punden berundak dengan tiga altar sesajian di terasnya yang tersebar di lembah dan lereng Penanggungan. Relief-relief yang dipahat pada dinding-dindingnya, menggambarkan cerita Sudhamala (kisah ruwat Dewi Durga), Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna dengan bidadari), adegan kisah Ramayana dan Mahabarata, cerita Panji (kisah roman antara putra mahkota Janggala dan putri Kediri) yang merupakan cerita lokal) dan banyak relief yang menggambarkan flora dan fauna.
Benda-benda kepurbakalaan lain yang terdapat di Penanggungan adalah gentong-gentong batu yang diyakini sebagai tempat air untuk upacara keagamaan, gua-gua pertapaan, undak-undakan anak tangga batu untuk mendaki bukit, altar persajian tunggal, batu-batu yang dihiasi relief, dan pecahan gerabah dengan berbagai bentuk. Berdasarkan tafsiran dari berbagai bentuk peninggalan-peninggalan kuno tersebut dengan didukung uraian kitab kuno Negarakertagama, Arjunawiwaha, dan Tantu Panggelaran dapat diketahui bahwa dahulunya Gunung Pawitra merupakan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan.
Sebagai pusat keagamaan pada masa perkembangan Hindu dan Budha, kaum resi memegang peranan penting dalam upacara ritual. Para resi adalah orang yang sudah mengundurkan diri dari dunia ramai dan memilih untuk hidup menyepi pada tempat-tempat yang jauh dari keramaian, biasanya di gunung yang masih sepi dan asri. Gunung Pawitra dijadikan sebagai pusat aktivitas keagamaan tidak lain adalah karena anggapan bahwa Pawitra merupakan puncak Mahameru, titik pusat alam semesta yang dipindah ke Jawa. Dengan bermukim dan beribadah di bangunan-bangunan suci yang tersebar di lereng-lerengnya, maka para resi akan lebih mudah untuk berhubungan dengan dewanya di dunia Swarloka, tempat bersemayamnya para dewa dan Girinatha (Siwa).
Sumber : khatulistiwa.info
Posting Komentar